JAKARTA – Setelah lama ditunggu kalangan serikat pekerja/buruh, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian materiil UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU.
Putusan bernomor 168/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dkk itu memuat 21 poin penting dalam amar putusan.
Dalam amar putusan ini, MK menyatakan 20 pasal dalam UU 6/2023 inkonstitusional bersyarat dan 1 pasal yakni kata “dapat” dalam Pasal 79 ayat (5) dalam Pasal 81 angka 25 Lampiran UU 6/2023 inkonstitusional.
Pertama, menyatakan frasa “Pemerintah Pusat” dalam Pasal 42 ayat (1) dalam Pasal 81 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “menteri yang bertanggung jawab di bidang (urusan) ketenagakerjaan, in casu menteri Tenaga Kerja.” Aturan ini terkait kewenangan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA).
Kedua, Pasal 42 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 4 UU 6/2023 dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “TKA dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memperhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.”
Ketiga, Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama 5 tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan.”
Keempat, Pasal 57 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 13 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.”
Kelima, Pasal 64 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 18 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya.”
Keenam, Pasal 79 ayat (2) huruf b dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai mencakup frasa, “atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.”
Ketujuh, kata “dapat” dalam Pasal 79 ayat (5) dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Kedelapan, Pasal 88 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya, sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.”
Kesembilan, Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan.”
Kesepuluh, frasa “struktur dan skala upah” Pasal 88 ayat (3) huruf b dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “struktur dan skala upah yang proporsional.”
Kesebelas, Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota.”
Kedua belas, frasa “indeks tertentu” Pasal 88D ayat (2) dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “indeks tertentu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh.”
Sumber: Hukumonline